Minggu, 19 Oktober 2008

Resensi Buku " HARUS BISA" seni memimpin ala SBY

Saya pada dasarnya bukan pengagum SBY sehingga ketika Pilpres putaran pertama sudah pasti tidak ikut memilihnya, hanya karena didorong oleh keinginan untuk melihat perubahan, maka pada putaran kedua pilihan jatuh pada SBY-JK. Sebagai orang luar saya melihat sosok SBY adalah pribadi yang sederhana, teliti, banyak pertimbangan, berusaha menjaga keseimbangan dengan semua orang, sehingga dalam setiap keputusannya terkesan sangat hati hati bahkan cenderung ragu dan lambat, setidaknya itu yang saya tangkap dari pemberitaan dan pencitraan media.

Buku ” Harus Bisa ” Seni memimpin ala SBY yang ditulis oleh DR Dino Patti Jalal Juru Bicara Presiden bidang luar negeri, yang mempunyai kesempatan mengikuti kemanapun SBY pergi, memberikan gambaran lebih luas tentang bagaimana keseharian SBY dalam memimpin, memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Dino bercerita dengan sangat baik, alur ceritanya lancar, disertai dengan pengantar teori atau praktek tentang kepemimpinan tokoh terdahulu, baru kemudian memberikan ilustrasi bagaimana SBY memimpin sesuai bab/sub bab yang dimaksudkan.

Nenek saya pernah berkisah tentang anekdot mbah Jinem untuk menggambarkan pola hubungan priyayi – kawula pada kultur jawa tempo dulu. Mbah Jinem adalah salah satu dari pembantu keluarga Assisten Prenggo, yang istrinya sebut saja den Nganten Prenggo. Jikalau bertamu atau kondangan den Nganten Prenggo selalu membawa salah satu dari abdinya. Fungsi bawahan yang dibawa itu untuk membenarkan dan membumbui jika den nganten memamerkan kebaikan dan kekayaannya, tetapi juga mengambil alih/menutupi jika ada kekurangannya. Abdi yang lain selalu sukses membawakan peran ini, sehingga kepada mereka diberikan kekucah (upah) sekedarnya. Suatu kali tiba giliran mbah Jinem
Untuk mendampingi den Ngantene, disaat atasanya itu membual tentang kebaikannya kepada para abdinya dan meminta klarifikasi, mbah Jinem dengan tanpa rasa bersalah membantah omongan majikannya, maklum ia sangat bersahaja. Begitu juga ketika den nganten Prenggo kentut walaupun tidak terdengar suaranya tapi terasa pula baunya, den nganten menoleh kepada mbah Jinem sambil bertanya, Nem kamu kentut ya ? Nggak ! yang kentut anda gitu kok, wong baunya dari depan? lagi lagi mbah Jinem tidak mengikuti prosedur tetap abdi mendampingi atasannya.

Buku ini secara keseluruhan memuat hal hal bagus tentang SBY, sebagai pemimpin yang mumpuni dan pengambilan keputusan yang tepat terhadap berbagai masalah kenegaraan, tidak terlalu mengagetkan karena sebagai bawahan tentu kecenderungan ini akan muncul pada siapa saja yang menulis tentang atasannya yang sedang bekuasa. Kalaupun disayangkan adalah kurangnya mengimbangi dengan sisi kelemahan SBY yang manusiawi dalam batas kewajaran. Saya membayangkan bagaimana mondar mandir dan kegelisahan SBY ketika mengetahui korban tol akibat pengamanan Paspampres di tol Jagorawi. Kendati Malarangeng mencoba membela diri tapi insiden itu jelas merisaukan Presiden sebagai orang yang berusaha menjaga keserasian dengan semua orang.
Akan lebih afdol sebenarnya jika Dino juga meminta komentar kepada pembantu/mantan pembantu presiden yang bukan seiring sesuai prosedur tetapnya, tetapi kepada tipe mbah Jinemnya, mungkin Yusril, Syaifullah Yusuf dan lainnya bisa berkomentar lebih lugas.


Dalam dua hari saya membaca habis buku ini, yang saya tangkap tentang SBY adalah sosok manusia Jawa, Islam, Modern, Militer dan Negarawan, yang semuanya serba baik, mumpuni, sukses dan menarik.

JAWA

Sifat Jawanya begitu kental dengan pribadinya yang kendati telah jadi presiden tetap bersahaja, kamar kerjanya berukuran 8X6 meter persegi, jam tangan yang dipakai masih yang dulu, tetap bercanda dengan ajudan dan staf. Ia tetap bisa menikmati buku dan koran, suka dipijat untuk memulihkan kecapaian, dan dihari libur masih suka bermain musik serta menggubah lagu. Ia juga menghormati pemimpin terdahulu, dia memilih sendiri foto semua mantan Presiden RI yang gagah dan dan berwibawa untuk dipampang diistana. Ia mengatakan ” menjelekkan pendahulu tidak membuat kita menjadi lebih baik”,

SBY selalu menekankan perlunya energi positif, itulah sebabnya ia tidak pernah membenci orang, optimis dan selalu melihat sisi positif dari setiap persoalan. Saya melihat SBY cenderung introvet dibandingkan JK yang cenderung ekstrovet, sehingga yang terlihat seolah olah JK lebih aktif memerintah dibanding dirinya, padahal langkah JK sudah dibicarakan masak masak antar keduanya.

Kita semua kenal Muhammad Hatta yang ketika mengakhiri jabatanya sebagi wakil presiden RI tanpa tercoreng martabatnya sedikitpun. Ini berbeda dengan pemimpin lainnya. Cita cita SBY sebagai militer adalah Kepala Staf Angkatan Darat, sehingga ketika ditawari jabatan sipil ia sering menolak, sampai akhirnya pada masa presiden Gus Dur ia masuk menjadi menteri Pertambangan dan Energi dan terpaksa harus pensiun dini. “Pensiun dini dari TNI adalah perasaan paling berat dalam hidup saya, saya begitu mencintai TNI, saya hidup dan tumbuh di militer, Istri saya waktu itu sampai menangis, batin berat sekali, tapi sudah suratan nasib saya terima”, begitu SBY berkeluh kesah. Ia termasuk orang yang tidak mendewakan kekuasaan.

ISLAM

Menurut SBY yang penting dalam politik adalah akhlak, yaitu melakukan sesuatu dengan tujuan baik, iktikad baik dan hati yang bersih. Sumber akhlak SBY adalah Islam, itu tak aneh karena dari garis ayah ia memiliki alur keluarga dengan pendiri ponpes modern Gontor, sedang dari garis ibu masih keturunan keluarga pesantren Salafiyah Tremas Pacitan.

Keislaman SBY juga ditandai dengan koleksi buku tentang Islam baik dirumah maupun diistana, juga kegemarannya selalu menyimak khutbah dimanapun dia sedang mendengarkannya tidak peduli di masjid desa sekalipun.

Akhlak SBY juga ditunjukkan ketika dia mendengar tentang Taufiq Kiemas dirawat di Rumah sakit, dengan lapang dada ia langsung menjenguknya ( siapapun tahu bagaimana hikmah dipojokkannya SBY oleh TK justru menumbuhkan simpati rakyat kepadanya ). Ketika pemakaman almarhum Presiden Soeharto SBY menyampaikan pidato yang jujur, apresiatif dan berimbang, sehinga memberikan perlakuan layak dan terhormat bagi pak Harto.

Akhir 2007 SBY melancarkan gerakan nasional menanam pohon, banyak orang mengkritiknya ”hari gini nanam pohon bukannya telat” ? atau ”berapa sih yang mau ditanam untuk menyelamatkan Indonesia” ? Dia menjawab dengan mengutip hadits Nabi Muhammad SAW, ” Jika esok hari kiamat, sementara ditanganku ada bijih, maka akan tetap aku tanam bijih itu”. Benarlah perbuatan sekecil apapun tidak akan dikalahkan oleh tidak berbuat apa apa, you can’t beat something with nothing.

Dalam kasus fitnah yang yang dilontarkan ZM , SBY sebenarnya sangat marah karena fitnah itu menyangkut keluarganya, tapi ketika ZM meminta maaf melelaui surat, SBY menjawab tertulis juga. Dalam tulisannya SBY mengutip ayat 12 Surat al Hujurat ” Jauhilah prasangka, sesungguhnya kebanyakan prasangka itu adalah dosa ”.


MODERN,

Tahun 2002 menteri agama Said Aqil al Munawar pernah membentuk tim khusus pemburu harta karun Prabu Siliwangi yang dipercaya ditimbun dibawah situs cagar budaya Batu Tulis, kejadian ini sungguh sangat ironis seorang menteri agama bertindak irasional. Alhamdulillah kita tidak menemukan SBY mengumpulkan keris bertuah, batu berkhasiat atau memelihara jin. Kepada orang yang menawarkan berbagai solusi magis belaiu mendengarkan dengan santun tetapi selalu menolak dengan bijak anjuran yang tidak rasional.

Sama halnya dengan pak Harto yang rajin belajar ekonomi pada awal pemerintahannya, lebih beruntung SBY karena dia adalah doktor ekonomi pertanian lulusan IPB. Tetapi tetap saja ia terus melakukan transformasi dengan mempelajari baik mikro maupun makro ekonomi. Ada empat transformasi penting dalam kepemimpinan SBY yaitu transformasi menjadi ekonom, cricis leader, mendahulukan kepentingan nasional dan menjadi negarawan internasional.

Untuk memulai pemerintahannya SBY menekankan budaya korporat, semua pembantu presiden SBY diminta membuat kontrak politik, yang sewaktu waktu dapat diminta pertanggung jawabannya. Cuma dari buku ini tidak dijelaskan nilai budaya korporat seperti apa yang ingin ditanamkan pada seluruh jajaran pembantunya, sehingga terkesan bahwa SBY ingin membangun budaya korporat, tapi belum terdefenisi secara jelas bagaimana budaya korporat yang diinginkan.

MILITER

Konsisten warna Politiknya, Sikap konsisten SBY dilhami oleh pangsar Sudirman yang memaknai revolusi fisik sebagai perjuangan suci dengan kekuatan batin pasti akan menang. Dalam berbagai kesempatan SBY mengatakan warna politiknya sebagai bersih, santun dan mengedepankan etika moralitas itulah yang dijalankannya.

Harus Bisa, Sebagai seorang perwira SBY terbiasa dengan pencapaian tugas atau yang bagi kami dinamakan berorientasi pada hasil kerja. Untuk mencapai keberhasilan diperlukan keyakinan, makanya kepada pembantunya SBY selalu mengatakan ” HARUS BISA ” sebagai penegasan jangan kalah sebelum bertarung.

Taat Sistim dan Aturan, Sri Mulyani mengatakan bahwa ia selalu merasa plong karena presiden atasannya sangat taat pada sistim, dalam menyelesaikan masalah tidak mengebiri peraturan dan tatanan.

Percaya Diri dalam bersikap, Kepada George Bush yang sensitif terhadap pembicaraan tentang Irak SBY menyatakan dengan lugas pandangan Indonesia tentang Irak, sikap indonesia adalah :
1) Upayakan rekonsiliasi Suni-Syiah-Kurdi di Irak,
2) Penarikan mundur tentara Amerika dari Irak, dan
3) Bantuan internasional berkesinambungan untuk Irak.
Disisi lain digambarkan ketegaran SBY tentang resolusi PBB No 183 tentang Sanksi baru untuk Iran, dimana Indonesia bersikap abstain walaupun 14 anggota DK PBB lainnya mendukung.

NEGARAWAN

Dalam keadaan Krisis pemimpin harus selalu berada didepan, ketika tsunami Aceh terjadi presiden dan romongan sedang berada di papua untuk merayakan Natal bersama rakyat yang menjadi korban gempa Nabire. Berita tentang gempa Aceh simpang siur, masuk setestes demi setetes dan keadaan Aceh selalu lebih buruk dari informasi sebelumnya. Kebanyakan staf kepresidenan menganjurkan tidak perlu langsung ke Aceh karena kondisi korban dan kerusakan belum jelas, tapi SBY fikirannya didominasi oleh bencana diujung barat Indonesia itu dan meminta Sekmil untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh. Ketepatan keputusan SBY untuk berada di garis depan bencana nasional tsunami Aceh ini mengawali certita yang terus mengalir tentang bagaimana SBY sebagai negarawan memimpin Indonesia.

Thinking Outside the Book, tsunami Aceh yang melumpuhkan infra struktur dan peralatan memaksa presiden berfikir diluar kerangka teori, beliau segera menyatakan Aceh terbuka untuk operasi bantuan militer dan LSM sekalipun.

Sebagai negarawan SBY selalu mengikuti suara hatinya yang semuanya benar menurut Dino, ketika semua perhatian tertuju pada pemulihan keadaan darurat Aceh SBY meminta dihentikannya pertikaian di Aceh, agar lebih dipusatkan membantu merehabilitasi Aceh tidak peduli mereka GAM sekalipun, karena ini masalah kemanusiaan. Sikap ini yang kemudian dikembangkan dengan mengubah bencana Aceh menjadi peluang untuk mewujudkan kedamaian di Aceh, semua itu didasari dengan trust begitu SBY menyatakan pada Sudi Silalahi.

Dobrak Birokrasi, Birokrasi yang membuat presiden geram adalah anekdot sindrom electrolux yaitu tentang bantuan kompor gas electrolux untuk pengungsi korban tsunami Aceh yang tertahan di Tanjung Priok selama 9 bulan. SBY yang tenang itu sempat mendamprat menterinya yang dianggap terlalu berpegang pada prosedur normal, padahal dalam keadaan darurat.

Merespon masalah real time, tak heran jika Meutya Hafid digosipkan dinternet sangat memuja SBY, karena respon SBY sangat real time ketika wartawan Metro TV itu bersama Budianto disandera di Irak, Dino yang menghubungi presiden pada dinihari pukul 01.15 segera mendapat perintah agar mepersiapkan konferensi pers, yang kemudian diadakan diruang credential istana Merdeka pada pukul 02.15, peristiwa itu diliput oleh berbagai media termasuk AP dan al Jazeera. Dalam statemennya SBY mengetuk para pecandera dengan menyatakan bahwa bangsa Indonesia yang penduduk muslimnya terbesar di dunia tentu ingin mengetahui keadaan saudaranya di Irak. Ketulusan presiden kita itu terbukti mendapat sambutan dengan dibebaskannya kedua wartawan Metro TV itu.

Mengubah nasib abdi negara dibawah, tahun 2005 dalam perjalanan dari Gambir ke Cirebon dengan menggunakan Kereta Api, SBY bertanya pada seorang karyawan tentang kehidupan sehari harinya. Karyawan itu menjawab sudah puluhan tahun bekerja di KAI tetapi belum juga diangkat sebagai pegawai penuh dan gajinya dibawah 1 juta rupiah. Dari kenyataan ini SBY selalu berfikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan pegawai terutama ditingkat bawah.

The Common Touch, Dino mengilustrasikan sentuhan SBY dengan sangat baik, ketika SBY sedang santai di belakang istana Bogor yang menghadap kejalan raya, diseberang jalan serombongan pejalan kaki mencoba memotret dari jauh sambil memanggil SBY, SBY….panggilan itu dijawab dengan pertanyaan
“ Boleh nggak saya minta tolong ?,
Boleeh... jawab mereka
Boleh nggak saya foto bersama bapak ibu ?
Para pejalan kaki terdiam, tidak menyangka presiden memberikan ketulusan seperti itu, kemudian yang terjadi adalah mereka saling foto dengan pemimpinnya.

Menjaga Kepercayaan Rakyat, Ketika menghadapi kritik yang kadang asal bunyi SBY selalu menjawab bahwa dirinya lebih berfihak pada rakyat bukan pada elit politik, editor senior media ataupun konglomerat bisnis. Ia memilih bersikap populis terbatas agar kebijakannya tidak semu hanya untuk menyenangkan rakyat.

Pentingnya faktor timing, bagaimana SBY memilih waktu dengan tepat, dikisahkan ketika jamuan makan malam pada kunjungan kenegaraan ke Malaysia bulan Januari 2008 SBY menolak dengan halus untuk menyanyikan lagu ciptaannya, padahal semua orang tahu SBY suka menyanyi maklum ketika SMA ia punggawa band sekolah. PM Badawi terlihat gelisah dan baru menemukan jawabannya keesokkan harinya, SBY mempercepat kunjungan kenegaraannya karena kondisi pak Harto. Apatah kata orang ketika pak Harto sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya, presiden pelanjutnya sedang enak enak menyanyi di negari orang, situasi ini berhasil dicegah berkat pentingnya faktor timing bagi SBY.

Pemimpin yang Nasionalis dan Internasionalis, Dino mengawali sub bab ini dengan teori pemimpin tipe Foreign Policy President dan SBY termasuk tipe ini yaitu mempunyai perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi. Pada rapat koordinasi seluruh dubes dan konjen diawal tahu 2008 SBY menyampaikan pemikiran dan arahan tanpa teks menyangkut Asean, Myanmar, Libanon, Nuklir Iran, Kosovo, Indonesia - Timor Leste, Palestina, KTT Asia timur, Perubahan Iklim, Islam dan Barat dll. Marty Natalegawa mengomentari hal ini dengan mengatakan ia terkesima mendengar SBY begitu menjiwai isu internasional yang komplek, melebihi diplomat yang sudah puluhan tahun malang melintang dalam panngung diplomasi. Dalam sub bab ini Dino juga mengupas peran SBY di PBB, Asean, Asia, Timur Tengah, OKI, disamping juga masalah HIV Aids, non proliferasi nuklir, perdagangan dan KTT non Blok.

Pemimpin yang menyentuh hati dan menyembuhkan luka, Dino bercerita bagaimana diplomasi menyentuh hati yang dilakukan oleh Xanana Gusmao yang hadir dalam acara Kick Andy serta bagaimana Panglima Tentara Diraja Malaysia yang ketika berkunjung ke Indonesia mencium tangan SBY layaknya seperti ketika menghadap Yang Dipertuan Agung di Malaysia, kendati sebelumnya terjadi kasus Ambalat. Dari seluruh kunjungan ke luar negeri SBY menurut Dino yang paling menyentuh adalah ketika menjadi kurir surat yang menghubungkan antara gadis yatim piyatu dari Aceh Nanda Luthfiyyah dan Maggie siswa SD K-6 Michigan USA yang beritanya tentu telah anda lihat di televisi.

Buku ini terbagi dalam 6 bagian :
1. Memimpin Dalam Krisis
2. Memimpin dalam perubahan
3. Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan
4. Memimpin Timdan membuat Keputusan
5. Memimpin di pentas Dunia
6. Memimpin Diri Sendiri

Untuk mengetahui selangkapnya isi buku ini kami anjurkan anda membacanya sendiri, agar dapat mengenal lebih dekat sosok SBY dalam 4 tahun memimpin Indonesia, dianjurkan dibaca bagi kaum muda, paling tidak dapat mengikuti bagaimana proses pengambilan keputusan pemerintahan SBY-JK.

JBH, 19 Oktober 2008