Selasa, 23 September 2008

PRIHATIN PERNYATAAN PRESIDEN SBY
TENTANG DIY

Sebagai alumni komunitas Yogya pernyataan Presiden SBY yang mengutip UUD 45 pasal 18 ayat 4 bahwa Gubernur, bupati dan walikota sebagai kepala pemerintahan daerah dipilih secara demokratis " elected bukan appointee ( Kompas 23 sept 2008).

Semestinya sebagai presiden yang sering disebut mempunyai kehati hatian yang berlebihan kalau tidak boleh disebut sering ragu, kali ini grusa grusu, mengutip perundangan apalagi UUD kok sepotong sepotong, rupanya karena merasa lebih kuat dan berkuasa boleh saja melupakan Yogyakarta ( wajar SBY lebih kental Ini kan Magelang Bung ). Bukankah UUD 45 pasal 18 b menghargai dan menerima kekhususan suatu daerah ? Sehingga rakyat jakarta tidak protes ketika walikotanya ditunjuk bukan dipilih, tapi ya sekali lagi, selagi kuasa biarlah apa ngomongnya yang pasti kawula yogyakarta akan mencatat dan mengingatnya.

Pemerintah Pusat Tak Adil Perlakukan DIY

Dikutipkan ucapan Sultan : "Saya mengerti apa yang bapak-bapak kehendaki. Kalau saya tidak malu, saya bisa menangis di tempat ini. Tapi, saya punya harapan, saya tidak mau bicara saya atau kami, tapi kita karena saya merupakan bagian dari bapak maupun ibu masyarakat Yogya".

Sri Sultan Hamengku Buwono X (kiri) didampingi permaisurinya GKR Hemas (kanan), dan adiknya GBPH Joyo- kusumo (tengah) ketika menerima warga Yogya yang tergabung dalam Gerakan Kawula Mataram (GKM) di Keraton Kilen Yogyakarta, Sabtu (20/9).
Begitu, Sri Sultan Hamengku Buwono X membuka Sabdanya kepada ratusan orang yang tergabung dalam Gerakan Kawula Mataram (GKM) di Keraton Kilen Yogyakarta, Sabtu (20/9).
Dikatakan, Orang Yogya ini sudah diuji oleh sejarah. Zaman perjuangan, bagaimana masyarakat Yogya ini memberikan kontribusi akan terjadinya kemerdekaan Republik Indonesia. Juga membela republik yang sudah merdeka ini untuk tetap tegak, dan jadi tempat untuk ibu kota republik ini. Yogya tetap konsisten untuk itu.
"Karena itu meski ujian berlangsung terus-menerus, saya berharap kita semua warga Yogyakarta juga tabah, kuat iman, tetap berpikir jernih. Orang sering menyebut Yogya sebagai kota budaya, kota yang warganya mengerti arti budaya, beradab, termasuk dalam menghadapi Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)," katanya.
Berbicara perlahan dan jeda yang lebih panjang, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat itu melanjurkan ucapannya dengan meminta agar orang-orang yang ada di ruang tamu Keraton Kilen itu mengabarkannya kepada setiap orang yang dijumpai.
"Saya memang sudah khawatir dan gelisah sejak lama. Dari tahun 2000 zamannnya Presiden Megawati Soekarnoputri, draf RUU DIY ini sudah diajukan. Karena sampai 2005 tidak pernah dibicarakan lagi, saya berusaha mencari keterangan. Puncaknya draf itu sudah dibicarakan antardepartemen. Tapi dengan alasan yang saya tidak tahu, RUUK itu di drop. Pada saat di drop, saya dipanggil pemerintah pusat yang mengatakan untuk DIY, supaya dianggap demokratis perlu dilakukan pemilihan," katanya.
Kepada GKM yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat Yogyakarta, antara lain para pamong desa seluruh DIY, aktivis LSM, pengusaha, budayawan, seniman, dan kalangan intelektual dari berbagai perguruan tinggi itu, Sultan dengan berbusana batik sutra mengatakan, pen-drop-an RUUK tanpa alasan itu sudah dianggapnya sebagai sikap pemerintah pusat yang tidak adil dalam memperlakukan Provinsi DIY. Selain itu, pemerintah pusat, tidak pernah mau mendengarkan pendapatnya.
"Karena sudah diputuskan semacam itu, saya tidak pernah bersedia untuk berpartisipasi dalam RUU DIY, termasuk membahas pasal demi pasal. Karena saya beranggapan kita semua diperlakukan tidak adil. Tidak ada tempat untuk kita berbicara. Jadi bentuk RUU apa pun yang sifatnya pemilihan, memang sudah didesain dari dulu," papar Sultan.
Sultan pun mengatakan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat, maka semuanya dia serahkan kepada rakyat.
Sultan berjanji akan berbicara kalau Panitia Khusus (Pansus) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) datang. "Karena kalau saya hanya berbicara dengan pemerintah, atau bicara di pers, hanya akan menjadi bahan pro dan kontra, bukan untuk menyelesaikan masalah," tegas Sultan.
Menyinggung soal masa jabatannya sebagai gubernur yang akan selasai bulan depan, Sultan yakin bahwa RUUK itu tidak selesai dibahas sesuai harapan rakyat Yogya.
Tapi yang penting menurutnya, pemerintah pusat harus segera memberi kepastian, apakah dia harus berhenti sampai 9 Oktober nanti, ataukah masih harus berlanjut dengan perpanjangan masa jabatan.
Sultan hanya berharap, agar warga Yogya bisa mengendalikan diri, tidak emosi, tapi justru bagaikan pohon padi yang penuh dengan butir-butir padi, bisa menundukkan kepala bukan karena takut, tapi karena berisi. "Kita manusia yang ber- budaya," katanya.
Dan berikutnya, lanjut Sultan, Hamengku Buwono tidak akan pernah meninggalkan apalagi mengkhianati bangsa dan NKRI.
"Saya bukan orang yang berambisi apa pun di dalam mencari jabatan. Tapi perlu saya sampaikan, saya adalah sarjana hukum di bidang tata negara," katanya.
Maklumat
Piagam kedudukan tanggal 19 Agustus 45 yang diberikan oleh Presiden RI kepada leluhur saya, almarhum HB IX dan swargi Sri Paduka Paku Alam VIII, yang termuat maklumat 5 Sepetember 1945, berarti siapa pun yang menjadi Sultan dan menjadi Sri Paku Alam, maka jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY adalah melekat.
"Jabatan tidak penting buat saya, yang penting, pemerintah pusat mau mendengarkan rakyat Yogya," tegas Sultan.
Demokratisasi di Yogya sudah berjalan, bahkan lebih baik. Secara struktural atau dalam lembaga kemasyarakatan. Tidak ada alasan keraton lain akan iri dengan Yogya. Yogya memang berbeda.
"Lalu wali kota di Jakarta tidak dipilih oleh rakyatnya, tidak ada rayat yang menuntut juga. Sekali lagi saya tegaskan, saya bukan ingin menjadi gubernur DIY, tetapi karena maklumat itu berkata begitu, saya ingin pemahaman dari pemerintah pusat bahwa jabatan gubernur itu melekat pada seorang Sultan dan jabatan wagub melekat pada Paku Alam. Ini bukan ketoprak," sindir Sultan.
Didampingi permaisurinya GKR Hemas dan adiknya, GBPH Joyokusumo, Sultan meminta agar warganya menghargai isi Orasi Budaya-nya pada 7 April 2007.
"Kalau pemerintah pusat memperpanjang jabatan gubernur, saya tidak mau perpanjangan 5 tahun. Semua jabtan politis, maksimal hanya dua periode. Saya mendahului itu sebagai bentuk manuver politik, karena saya tidak mau dihadapkan pada persoalan Sultan tidak bisa menjadi gubernur lagi. Ya saya sudah skak mat," tegas Sultan. Kita tunggu saja apa yang diputuskan. Hargai Sabdo Pandita Ratu. [Suara Pembaruan /Fuska Sani Evani]